Kamis, 16 April 2009

Sunat Kurangi Risiko Terinfeksi HIV

JAKARTA -- Sunat atau proses pemotongan pada kulit luar ujung (kepala) penis dapat mengurangi risiko terinfeksi HIV (human immunodeficiency virus) karena bagian kulit ujung penis yang lembab dan basah dapat menjadi tempat yang ideal bagi virus HIV hidup.

"Negara Asia dan Afrika dengan prevalensi populasi laki-laki disunat kurang dari 20 persen mempunyai prevalensi HIV beberapa kalu lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang populasi laki-laki disunat mencapai lebih dari 80 persen," kata Direktur Pelayanan Kesehatan Yayasan Kusuma Buana dr Adi Sasongko dalam diskusi tentang kesehatan yang berlangsung di Jakarta, Selasa.

Adi Sasongko menambahkan beberapa penyebab laki-laki yang tidak disunat lebih banyak terinfeksi HIV karena mukosa kulup (kulit ujung penis-red) mengandung banyak sel Langerhans sehingga lebih rawan teronfeksi HIV.

Selain itu, mukosa tersebut lebih mudah lecet atau terluka bila tidak dilakukan sunat. Luka atau lecet itu bisa menjadi pintu masuknya virus HIV.

"Juga kondisi lingkungan di lipatan kulup menjadi tempat yang kondusif untuk bertahannya HIV," kata Adi dalam acara yang diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DKI Jakarta tersebut.

Ditambahkannya, berdasarkan penelitian sejumlah ahli, risiko penularan HIV lebih rendah pada laki-laki yang disunat dibandingkan dengan yang tidak untuk di Afrika Selatan 76 persen lebih rendah, di Kenya 60 persen lebih rendah dan Uganda 55 persen lebih rendah.

Selain mengurangi risiko terinfeksi HIV, maka sunat juga dapat meningkatkan kebersihan penis sehingga mengurangi potensi penularan penyakit menular seksual lainnya.

Namun demikian, Adi mengingatkan sunat bukanlah langkah pencegahan penularan HIV karena ada hal lain yang harus dilakukan seperti menggunakan kondom saat berhubungan bila menyadari memiliki risiko tinggi tertular HIV serta upaya-upaya pencegahan lainnya.

Meski menyatakan perlunya mengkampanyekan sunat, namun Adi mengingatkan kampanye tersebut dilakukan dengan hati-hati. Ia menambahkan, selama ini sunat identik dengan salah satu pelaksanaan ajaran Islam dan bila pola kampanye salah, bisa disalahartikan oleh pemeluk agama lainnya.

"Tapi yang harus kita ketahui, di Amerika Serikat dan Eropa sendiri, praktik sunat banyak dilakukan, tentunya berangkat dari alasan kesehatan," paparnya.

Sementara itu menanggapi pro dan kontra praktik sunat bagi perempuan, Adi mengatakan sunat perempuan yang dilakukan di Indonesia berbeda dengan yang dilakukan di Afrika.

"Kalau di Afrika praktiknya ada yang hingga memotong klitoris dan kerap dilakukan dengan metoda yang tidak higienis sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi. Di Indonesia, di beberapa daerah, dilakukan sunat pada perempuan karena tradisi, biasanya hanya sedikit melukai pada klitoris," katanya.

Meski demikian, papar Adi, secara pribadi ia menilai sebaiknya sunat pada perempuan tidak dilakukan karena tidak memberikan pengaruh apa pun terhadap peningkatan kesehatan perempuan. - ant/ahi