Sabtu, 07 Maret 2009

Masa Depan Buku v Era Digital

Apa yang dibayangkan Bill Gates dalam pidato undur dirinya dari Microsoft dengan andaian suatu saat kelak orang dapat berinterkomunikasi dengan konektivitas sejagat tanpa meninggalkan meja sentuh dan soft drink, sebetulnya telah diperkirakan oleh ''raja media'' Dahlan Iskan beberapa tahun silam.

Gagasan menyambut era digital seperti ditunjuk Bill Gates di atas sejatinya telah diprediksi dan telah diantisipasi oleh Dahlan Iskan, salah satunya dengan menerbitkan koran-koran ''Radar''. Media yang diproyeksikan dengan orientasi kedaerahan ini dianggap sebagai cara terbaik bagi koran (dengan bahan baku kertas) untuk tetap bertahan. Dalam perkiraannya, tidak hanya koran, demikian pula buku dan majalah (yang berbahan dasar kertas), akan mati pelan-pelan. Era komunikasi dan informasi berbasis digital ini, kalau mau disederhanakan, dapat disebut sebagai ''era matinya media berbahan baku kertas''.

Sekarang, kenyataan di atas mulai kita rasakan. Adanya jardiknas dan diluncurkannya buku sekolah elektronik (BSE) pada 20 Agustus 2008 merupakan pertanda ke arah itu. Ide ini sebetulnya telah muncul pada awal masa bakti Mendiknas Bambang Sudibyo. Bulan September 2006, muncul rencana untuk membeli hak cipta buku kepada penerbit agar buku dapat disebarkan dengan murah karena hak ciptanya telah dibeli pemerintah. Dua tahun kemudian (September 2008), jumlah total BSE telah mencapai 407 buku.

BSE sangat praktis karena hanya berupa file yang dapat diunduh (download), untuk selanjutnya dicetak, ditindas, dan bahkan dapat diperjualbelikan kembali secara sah karena royalti untuk pengarang telah dibayar oleh pemerintah. Meskipun tidak benar-benar merata secara nasional, buku elektronik ini telah dicakramkan dan disebar, juga disajikan dalam banyak situs internet.

Sekali lagi, kehadiran jardiknas dan BSE telah membuat pijakan kaki sebelah kita menapak di era digital itu. Di era tersebut, manusia membaca koran dan menonton televisi hanya dalam satu media: komputer! Koran, radio, televisi, semua telah online. Memang, awalnya, masyarakat masih memilih koran untuk dibaca, radio untuk didengar, dan televisi untuk ditonton. Tetapi, semua fasilitas yang ada pada koran, radio, dan televisi kini mulai direbut (meskipun belum sepenuhnya diambil alih) oleh internet (komputer). Bahkan, hal itu kini telah didapatkan manusia dalam sekeping laptop atau gadget mungil lain yang selama 24 jam dalam sehari terus terhubung ke internet.

Kini, kita telah benar-benar berada dan akan terus masuk lebih jauh, dalam sebuah era digital dan komputer, di mana kecepatan, keringkasan, dan ketermampatan merupakan bagiannya yang paling asasi. Digitalisasi dan komputerisasi juga merambah semua lini dan sektor kehidupan manusia, termasuk dalam ranah pendidikan dan keilmuan. File-file e-book (biasanya berekstensi ''chm'', ''hlp'', maupun ''pdf'') telah bertebaran di banyak situs, baik yang berbayar maupun unduhan percuma (gratis). Buku digital diharapkan menjadi media yang membuat kehidupan manusia lebih mudah, tetapi juga, untuk sementara, menjadi masa depan yang menghantui percetakan dan penerbitan buku yang sampai hari ini masih dianggap paling praktis oleh kebanyakan masyarakat.

Semangat pertama teknologi adalah kemudahan, selanjutnya ketermampatan, selebihnya percepatan. Buku digital merupakan jawaban bagi keinginan manusia yang secara naluriah selalu menginginkan kemudahan, begitulah seterusnya. Atas dasar itu pulalah, manusia terus berupaya agar ensiklopedi, kamus, antologi kitab klasik yang berjilid-jilid, serta buku-buku bacaan kontemporer lainnya, tidak perlu ruangan seluas 8x6 meter lagi untuk menyimpannya, melainkan cukup dalam sekeping laptop yang bobotnya kurang dari 2 Kg. Buku-buku BSE dan Maktabah Syamilah (yang memuat 5.500-an kitab) hanya butuh sesudut tempat dalam hardisk dengan kapasitas terrabyte.

Ya, digitalisasi dan komputerisasi telah merambah sangat jauh dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia perbukuan. Apa yang dilakukan Dee (Dewi Lestari) dengan Rectoverso-nya, akan dikembangkan oleh Landung Simatupang dengan merekam pembacaan-pembacaan cerpennya. Dengan mengacu pada prinsip ini, The Da Vinci Code yang telah dibaca oleh Paul Michael yang berdurasi 16 jam itu barangkali akan ditiru oleh buku-buku best seller lain, seperti Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta, misalnya. Hasilnya, toko buku akan menjual sebuah produk baru dengan banner iklan berbunyi begini: Beli CD novel, dapatkan bonus bukunya!

Ide manusia tidak akan pernah berhenti. Untuk lebih memudahkan dan memperbaiki kualitas kehidupan, teknologi, inovasi, dan kreativitas akan terus dikembangkan. Dalam bayangan saya, ide berikutnya adalah rekreasi buku dan ilmu pengetahuan bagi orang-orang sibuk yang butuh informasi namun tidak punya waktu untuk membaca buku. Buku-buku, baik fiksi maupun nonfiksi, akan disajikan dengan (atau hanya dalam) sekeping cakram. Bahkan, barangkali, beberapa penulis/penerbit secara khusus akan mencoba menggandeng komposer dan arranger untuk memberikan sentuhan musikal di balik pembacaan ''buku'' cerpen, puisi, dan novel, misalnya.

Kehadiran ''buku'' elektronik, demikian pula ''buku'' audio, akan menciptakan perubahan pandangan dan gaya hidup masyarakat. Perubahan ini juga akan merambah banyak sisi, disiplin, dan sektor kehidupan yang lain; baik penulis, penerbit, distributor, pembaca/pendengar, juga pembajak, bahkan hingga pakar linguistik dalam mendefinisikan ulang arti sebuah buku. (*)

Jawa Pos, Minggu, 22 Februari 2009
Oleh M. Faizi, pemangku muda di PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep

Tidak ada komentar: